Liputan Live Streaming Tiga Dosa Besar Pendidikan

Di awal tahun 2022 ini Komunitas Belajar Guru Penggerak kembali  menyelenggarakan Webinar series ke-18 dengan tema Tiga Dosa Besar Pendidikan.

Webinar ini sangat menarik perhatian kita semua baik sebagai pendidik, siswa, orang tua maupun masyarakat umum karena tema yang diusung adalah tema yang sangat relevan dengan apa yang sering terjadi akhir-akhir ini dalam dunia pendidikan.

Sesi webinar  kali ini menghadirkan narasumber utama yang luar biasa beliau adalah  Ir. Hendarman, M.Sc,. Ph.D., yang  menjabat sebagai Plt. Kepala Pusat Penguatan Karakter Analis Kebijakan Ahli Utama Kemendikbudristek.

Narasumber : Ir. Hendarman, M.Sc,. Ph.D. Sumber . Youtube Komunitas Belajar Guru Penggerak https://youtu.be/aDuanUYG9x8

Menurut narasumber, Tiga Dosa Besar Pendidikan telah menjadi program prioritas dari Kemendikbudristek dan sudah dicanangkan oleh Mas Menteri di awal tahun 2021, dimana untuk pertama kalinya Mas Menteri bertemu dengan para wakil rakyat di komisi X DPR. Ketika berbicara tentang pendidikan, hal ini tidak terlepas dari tiga bagian ekosistem pendidikan yaitu sekolah, orang tua, masyarakat. Ini pekerjaan yang tidak mudah karena masalah-masalah tersebut di atas sudah ada sejak dulu.

Untuk program atau kebijakan Tiga Dosa Besar Pendidikan, Mas Menteri telah memandatkan untuk difasilitasi dan dikoordinasikan oleh Pusat Penguatan Karakter. Ini adalah  satu pusat baru yang dibentuk dan langsung dalam arahan dari Mas Menteri, yang bertanggungjawab untuk mengoordinasikan penguatan karakter di berbagai unit. Salah satu penekanan yang dilakukan oleh Mas Menteri untuk program kebijakan ini adalah bagaimana kita guru penggerak dapat menggunakan media-media yang kita punya. Kita dapat mengakses di Sosmed dari Pusat Penguatan Karakter ‘Cerdas Berkarakter’ menjadi bahan-bahan yang dapat kita gunakan.

Pada tahun 2021 Kemendikbudristek telah melakukan intervensi pencegahan kekerasan yang meliputi kekerasan seksual,intoleransi dan perundungan.

  1. Kekerasan Seksual

Latar belakang mengapa kekerasan seksual diangkat atau lebih diprioritaskan karena kekerasan seksual merupakan bentuk kekerasan yang paling sering terjadi di lingkungan pendidikan dan mencapai angka 88% dari total kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan (2020). Dalam kurun waktu 2015-2020,  kasus pengaduan dari universitas adalah yang tertinggi yakni  sebesar 27%, sedangkan sisanya adalah pengaduan yang berasal dari pesantren atau pendidikan berbasis islam sebesar 19%, tingkat SMU/SMK 15%, tingkat SMP 7%, dan TK, SD, SLB dan pendidikan berbasis Kristen sebesar 12%.

Pada tingkat pendidikan tinggi, berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Ditjen Diktiristek pada tahun 2020, 77% dosen menyatakan bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63% dari mereka tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus. Sedangkan pada tingkat sekolah, menurut World Heath Organization, kasus kekerasan seksual juga sering terjadi karena sekolah dipandang sebagai salah satu tempat yang ‘aman’ selain kampus, asrama mahasiswa, dan tempat kerja.

Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Hertinjung tahun 2009, alasan anak sering menjadi terget kekerasan seksual adalah karena mereka selalu berada di posisi lemah dan tidak berdaya didukung oleh moralitas masyarakat, khusunya pelaku kekerasan seksual yang rendah.

Hasil survei dari Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja tahun 2021 mengatakan bahwa kelompok anak usia 13-17 tahun,  8 dari 100 anak perempuan dan  4 dari 100 anak laki-laki pernah mengalami kekeran seksual sepanjang hidupnya. Selain itu catatn akhir tahin Komisi Perlindungan Anak (KPAI) menunjukan bahwa terjadi 18 kasus kekerasan seksual pada anak di institusi pendidikan selama tahun 2021. Seluruh kasus terjadi antara 2 Januari-27 Desember 2021.

Definisi kekerasan seksual terhadap anak di bidang pendidikan berdasarkan Buku Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Sekolah Dasar, dibedakan menjadi 2 kategori:

  1. Kekerasan seksual kontak, yaitu setiap aktivitas sekolah yang melibatkan anak, baik dengan bujuk rayu,iming-iming tanpa atau dengan paksaan dengan cara yang tidak wajar (meraba alat kelamin,mencium,perkosaan,sodomi, dan lainnya.
  2. Kekerasan seksual non kontak, yaitu dilakukan secara tidak langsung (mempertontonkan gambar atau video porno,memotret/mevideo anak dalam keadaan tidak senonoh, menunjukkan perilaku provokatif secara seksual, dan lainnya.

Yang menjadi pertanyaan, apakah kita sebagai pendidik pernah mengecek kondisi murid-murid kita disekolah? Melalui pencerahan dlam webinar ini, kita sebagai guru diharapkan dapat menjadi bagian dari sebuah gerakan untuk membantu penuntasan atau memerangi salah satu dosa besar dalam pendidikan ini.

Beberapa strategi yang sudah dilakukan oleh Kemdikbudristek untuk menangani masalah ini antara lain tertuang dalam program, kebijkan, dan perencanaan berkelanjutan. Yang sudah dilakukan di Level Program diantaranya adalah webinar anti kekerasan berbasis gender, Lomba aksi nyata,Podcast radio, Iklan Layanan Masyarakat, Merdeka Belajar Episode 14,dan lain-lain. Pada Level Kebijakan ada Kepmen No. 7/P/2021 tentang Pengakuan SKS Pembelajaran Program kampus Merdeka, Integrasi kanal pengaduan melalui LAPOR! dan pembuatan kanal pengaduan kekerasan seksual Kampus Mengajar angkatan kedua, dan lain-lain. Sedangkan di level perencanaan berkelanjutan ada rancangan kegiatan kerja sama dan rancangan sistem pengelolaan data dan komunikasi terkai pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS).

Materi edukasi untuk meningkatkan awarenss publik megenai isu Kekerasan Seksual, Kekerasan Berbasis Gender di dunia Pendidikan dilakukan sejak tahun 2020-2021 dengan 137 materi serta sudah ditonton oleh lebih dari 7,7 orang.

  1. Intoleransi (isu keberagaman)

Ada enam  fokus intervensi pencegahan intoleransi yang sudah dilaksanakan di tahun 2021, di antaranya:

  1. Pelatihan penanaman nilai keberagaman untuk GTK dalam levelnya terhadap individu, target guru GTK, dosen. Terkait dengan pelatihan, substansi pelatihan dimulai dari pemahaman konsep kebhinekaan dalam tatanan global dan diakhiri dengan teknik penyemaian toleransi di sekolah yang dimulai dari PAUD hingga SMA/SMK.
  1. Pertukaran Pertukaran mahasiswa Merdeka yang tengah berlangsung yang melibatkan lebih dari 11.500 mahasiswa dari 246 perguruan tinggi yang berbeda. Mahasiswa ditempatkan di pulau yang berbeda dari pulau asal dan pulau domisili perguruan tinggi dan selama satu semester mahasiswa akan diperkaya melalui kegiatan Modul Nusantara yang terdiri dari pilar modul kebinekaan, inspirasi, refleksi dan kontribusi sosial.
  2. Revisi mata kuliah wajib di perguruan tinggi yang mancakup Pancasila,Kewarganegaraan,Agama dan Bahasa Indonesia yang telah dilakukan di 10 Perguruan Tinggi inovator.
  3. Asesmen atau survei untuk mengukur skala intoleransi dalam hal secara umum melalui Asesmen Nasional untuk siswa, ,PGP dan PPG untuk guru, serta Survei Kebinekaan Kampus Merdeka untuk mahasiswa dan dosen mencakup dimensi wawasan kebangsaan, kecenderungan pada kekerasan, toleransi.
  4. Regulasi dan sanksi untuk institusi/kebijakan/individu yang intoleran serta adanya hotline pengaduan kasus-kasus intoleransi. Kemendikbudristek saat ini tengah menginisiasi masalah yang terjadi pada tiga dosa besar ini, terutama untuk kekerasan seksual akan merevisi Permendikbud 32/2015 dan ditargetkan selesai pada bulan Mei atau Juni 2022. Melalui kerjasama dengan KemenPANRB, kategori kekerasan di satuan pendidikan telah ditambahkan pada laman Lapor.go.id.
  5. Melakukan kampanye publik di media sosial dan media massa tentang penanaman toleransi yang telah dikeluarkan oleh Pusat Penguatan Karakter kemendikbudristek dan sudah ditonton lebih dari tujuh juta kali.
  1. Perundungan

 Perundungan atau bullying merupakan perilaku agresif yang dilakukan seseorang atau kelompok ke orang atau kelompok lain. Berdasarkan data dari PISA (Program Penilaian Pelajar Internasional) tahun 2018, 41% pelajar berusia 15 tahun di Indonesia mengalami perundungan setidaknya beberapa kali dalam satu bulan. Sumber lain mengatakan 2 dari 3 anak perempuan dan laki-laki usia 13-17 tahun di indonesia pernah mengalami paling tidak satu jenis kekerasan dalam hidup mereka. (Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja oleh KPPA, 2018)

KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) menemukan bahwa Anak mengalami bullying di lingkungan sekolah sebesar 87,6% dimana 29,9% dilakukan oleh guru dan 70,1% dilakukan oleh teman sekelas dan teman lain kelas.

Menurut penelitian tahun 2008 oleh Yayasan Semai Jiwa Amini (SEJIWA), Plan Indonesia dan Universitas Indonesia tentang kekerasan bullying di Yogyakarta, Jakarta dan Surabaya mencatat kekerasan sebesar 67,9% di tingkat SMA dan 66,1% di tingkat SMP. Berdasarkan estimasi data SEJIWA dan KPA, ada lebih dari 84000 kasus kekerasan anak yang terjadi setiap tahun.

Dalam hal ini ada 3 pemeran utama aksi perudungan :

1. Pelaku (orang yang melakukan perudungan)

2. Korban (orang yang menjadi target aksi perudungan)

3. Penonton/bystanders (orang yang menyaksikan aksi perudungan terjadi)

Banyak siswa di Indonesia yang masuk dalam kategori bystanders, dimana mereka tidak melakukan apa-apa untuk menghentikan aksi perundungan.

Bentuk-bentuk perilaku perudungan yang sering terjadi secara fisik yaitu mencubit, mencakar, menendang,menjewer, dan lain-lain. Secara psikis bisa dalam bentuk meremehkan, mengejek, membentak, melecehkan, dan lain-lain. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah cyberbullying dalam bentuk penyebarkan rumor atau informasi pribadi melalui jaringan dan lain-lain.

Pada Tahun 2021 Kemendikbudristek telah bekerjasama dengan UNICEF untuk melaksanakan program “Roots Indonesia” yang bertujuan untuk mencegah perudungan dan memusatkan peran pelajar di sekolah sebagai perubahan untuk menyebarkan pesan. UNICEF telah berhasil di 5 provinsi dalam mengurangi angka perudungan yang terjadi disana, walaupun tidak disemua sekolah.

Adapun cara kerja Program Roots Indonesia adalah melalui penetapan fasilitator nasional dan agen perubahan di sekolah (ada 30 siswa yang terpilih dari tiap sekolah dimana siswa tersebut terpilih bukan karena kepintarannya tetapi merka memiliki pengaruh besar di sekolah untuk mengubah sikap dan perilaku teman-teman sebayanya). Dan peran dinas pendidikan di tiap daerah dalah untuk turut mengurangi kasus perundungan yang ada di lingkungan sekolah.

Sesi Tanya Jawab Peserta . Sumber . Youtube Komunitas Belajar Guru Penggerak https://youtu.be/aDuanUYG9x8
Sesi Tanya Jawab Peserta . Sumber . Youtube Komunitas Belajar Guru Penggerak https://youtu.be/aDuanUYG9x8

Demikian inti sari yang diperoleh dari sesi webinar yang sangat menginspirasi yang sudah dilaksanakan pada tanggal 29 Januari 2022 lalu. Semoga ini menjadi perenungan bagi kita dan mengambil langkah tegas dan nyata untuk meminimalisir dampak dari tiga dosa besar penddikan yang menjadi pekerjaan rumah kita. Sumber . Youtube Komunitas Belajar Guru Penggerak https://youtu.be/aDuanUYG9x8

komunitasbelajargurupenggerak

KGBP adalah Komunitas Belajar Guru Penggerak adalah komunitas yang mendukung terciptanya semangat belajar bersama, berbagi praktik baik dan berdiskusi memecahkan berbagai masalah pembelajaran dan peningkatan profesionalisme guru di antara peserta dan pendukung program guru penggerak.
KBGP juga hadir untuk mendukung tumbuhnya komunitas praktisi atau komunitas belajar bagi guru dan kepala sekolah di seluruh Indonesia.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *